Apa itu sehat?
WHO mendefinisikan kesehatan sebagai: “… keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani) dan social, dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan …” ( Smet, 1994).
Menurut Allport, manusia yang sehat memiliki kebutuhan terus menerus akan variasi, akan sensasi-sensasi dan tantangan-tantangan baru. Mereka tidak suka akan hal-hal yang rutin dan mereka mencari-cari pengalaman-pengalaman baru.
Adapun ciri-ciri individu yang normal atau sehat ( Warga, 1983) pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Bertingkah laku menurut norma-norma sosial yang diakui
2. Mampu mengelola emosi
3. Mampu mengaktualkan potensi-potensi yang dimiliki
4. Dapat mengikuti kebiasaan-kebiasaan sosial
5. Dapat mengenali risiko dari setiap perbuatan dan kemampuan tersebut digunakan untuk menuntun tingkah lakunya
6. Mampu menunda keinginan sesaat untuk mencapai tujuan jangka panjang
7. Mampu belajar dari pengalaman
8. Biasanya gembira
Dari definisi serta ciri-ciri diatas, saya menyimpulkan bahwa sehat merupakan kondisi dimana fisik (jasmani), mental (rohani) baik itu pikiran, emosi, dll, dan sosial dalam kondisi yang normal (seperti orang pada umumnya), stabil, serta dapat mengikuti kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma yang ada di masyarakat.
Adapun dimensi-dimensi yang terdapat dalam Konsep sehat yaitu:
1. Jasmani/ fisik : Berkaitan dengan fisik sekaligus mekanismenya di dalam tubuh. Jika terdapat sesuatu yang bermasalah biasanya akan langsung dirasakan oleh individu itu sendiri.
2. Rohani / psikis : Dimensi ini dapat diartikan sebagai cara berpikir dalam menanggapi suatu hal. Keadaan emosional dan sosial berkaitan erat dengan dimensi ini. Keadaan emosional meliputi perasaan senang, marah, sedih, gembira, dll yang dapat diekspresikan dalam kondisi yang tepat dan dengan proporsi yang tepat juga.
3. Sosial : berkaitan dengan hubungan / interaksi dengan orang lain atau kelompok dan dalam lingkup masyarakat.
4. Spiritual : Dimensi ini berkaitan dengan kepercayaan yang kita anut dan kita yakini kebenarannya.
Sejarah Perkembangan Kesehatan Mental
Pada zaman prasejarah sampai tahun 1600an, gangguan-gangguan mental (gila) maupun fisik (infeksi, gangguan pernapasan,dll) dianggap berasal dari penyebab yang sama yaitu roh-roh jahat, halilintar, atau mantera-mantera musuh. Mereka dianggap melakukan kesalahan kepada roh-roh atau menjadi medium dari roh-roh untuk menyatakan keinginannya. Oleh karena itu, mereka seringkali tidak dianggap sakit, sehingga mereka masih mendapatkan tempat di tengah-tengah masyarakat, dan masih diperlakukan secara manusiawi. Mereka tidak dibuang, diasingkan, ditertawakan atau dibunuh. Lalu baik penyakit mental maupun fisik digunakan perawatan-perawatan seperti menggosok, menjilat, mengisap, memotong, dan membalut. Atau juga menggunakan salep, mantera, obat keras, sihir, sampai pada ritual penebusan dan penyucian.
Pada peradaban awal sepanjang zaman kuno (dari 5000 tahun SM sampai 500 tahun M), penyakit mental mulai menjadi hal yang umum. Ilmu kedokteran menjadi lebih terorganisasi waktu peradaban-peradaban menjadi lebih maju. Orang yang pertama terjun dalam ilmu kedokteran adalah para imam. Karena penyakit mental dihubungkan dengan setan-setan maka pengobatan atau perawatannya dilakukan dengan upacara-upacara agama dan upacara-upacara magis supaya setan keluar dari tubuh si pasien.
Di Mesir
Seperti dalam peradaban-peradaban awal lainnya, ilmu kedokteran di Mesir erat berhubungan dengan agama. Meskipun coraknya magis, namun ilmu kedokteran Mesir maju dan sangat rasional dalam beberapa hal. Dalam tulisan-tulisan Mesir, otak digambarkan pertama kalinya dan diketahui juga perannya dalam proses-proses mental.
Di Cina
Dalam pandangan orang-orang Cina, gangguan mental dilihat sebagai penyakit dan dianggap sebagai gangguan proses alam atau ketidakseimbangan antara Yin dan Yang (Kao, 1979). Untuk orang-orang Cina, Yin dan Yang adalah dua kekuatan dalam alam semesta – baik dan buruk, pria dan wanita, gelap dan terang, positif dan negatif. Fungsi normal dan sehat membutuhkan keseimbangan antara kekuatan-kekuatan ini. Kelebihan Yin atau Yang dan hubungan-hubungan yang kompleks dengan sistem-sistem lain dalam tubuh dipersalahkan untuk beberapa gangguan tingkah laku dan mental tertentu. Lambat laun pada abad ke-20 Cina menggunakan banyak sikap dan prosedur dari psikiatri Barat tetapi dengan suatu perbedaan, yakni pengobatan yang dilakukan oleh orang-orang Cina sangat eklektis dan merupakan campuran dari pengobatan tradisional, psikoterapi modern, dan pengobatan farmakologi.
Di Amerika
Meskipun orang yang memiliki gangguan mental seringkali tidak dianggap sakit, tetapi pada tahun 1692, pengadilan Amerika pernah memvonis 19 orang untuk digantung karena orang yang memiliki gangguan mental dianggap memiliki sihir. Itu disebabkan karena adanya pengaruh dari para imigran Eropa yang beragama Nasrani yang menganggap orang yang bergangguan mental disebabkan oleh sihir/guna-guna atau dirasuki setan, sehingga masyarakat Amerika takut dan membenci orang-orang tersebut. Pada abad ke-17 dan 18 individu yang menderita penyakit mental berada dalam penderitaan yang besar di tangan masyarakat Amerika. Penyiksaan fisik maupun mental merupakan hal yang umum.
Para pendiri pada abad ke-19, seperti Phillip Pinel di Perancis dan Dorothea Dix, membuat lompatan besar dengan mempromosikan penanganan manusiawi bagi penderita penyakit mental, tetapi kondisinya masih jauh dari ideal.
Di Inggris
Sejarah kesehatan mental di Eropa, khususnya Inggris, agak sedikit berbeda. Sebelum abad ke-17, orang gila disamakan dengan penjahat/kriminal, sehingga mereka dimasukkan ke dalam penjara. Antara tahun 1830-1860 di Inggris timbul optimism dalam menangani pasien sakit jiwa (Therapeutic Optimism). Hal ini disebabkan berkembangnya teori dan teknik dalam menangani orang sakit jiwa di rumah sakit jiwa. Pada masa ini tumbuh kepercayaan bahwa penanganan di rumah sakit jiwa merupakan hal yang benar dan cara ilmiah untuk menyembuhkan kegilaan. Pada tahun 1842 psikiater mulai masuk dan mendapatkan peranan penting di rumah sakit, menggantikan ahli hukum yang selama ini berperan. Namun karena penanganan pada masa ini ternyata banyak membuahkan kegagalan, maka tidak lama kemudian muncul masa terapi pesimisme (Therapeutic Pesimism). Ini terutama dipngaruhi oleh sosialisme Darwin yang menyatakan bahwa gangguan mental adalah perkembangan evolusi sehingga merupakan bawaan dan tidak mungkin diubah lagi.
Clifford Beers (1876-1943) menderita manis depresif pada tahun 1900. Dia merupakan lulusan Yale dan seorang bisnisman. Dia dimasukkan ke rumah sakit mental swasta di Connecticut, dan dia menjadi subjek penanganan yang tidak manusiawi dan mengalami penyiksaan fisik dan mental. Begitu juga di rumah sakit negeri di Middletown, Connecticut dia mendapatkan perlakuan paling buruk. Pada tahun 1908 dia menulis buku yang berjudul A Mind That Found Itself, merupakan laporan pengalamannya sendiri sebagai pasien sakit mental dan secara jelas menggambarkan kekejaman lembaga perawatan. Beers kemudian mendirikan Masyarakat Connecticut untuk Mental Higiene yang kemudian pada tahun berikutnya berubah menjadi Komite Nasional untuk Mental Higiene (the National Committee for Mental Hygiene), yang merupakan pendahulu Asosiasi Kesehatan Mental Nasional (National Mental Health Association) sekarang ini.
Pada tahun 1920-1930 di Eropa terjadi perubahan treatmen dalam menangani gangguan mental. Perubahan ini berkat pengaruh teori Freud yang pada masa itu menjadi terkenal. Perubahan treatmen tersebut meliputi:
- Treatmen di dalam rumah sakit kurang diminati, diganti treatmen yang dilakukan di luar rumah sakit
- Treatmen dilakukan tidak memerlukan sertifikasi
- Treatmen dilakukan di rumah pasien
Pada tahun 1930-1960an mulai bermunculan cara-cara penyembuhan untuk berbagai penyakit mental. Dari mulai menginjeksikan insulin untuk penyakit skizofrenia; pembedahan lobotomi frontal oleh Agas Moniz terhadap pasien mental Amerika; elektroterapi dan rehabilitasi psikiatrik untuk penyakit mental; lalu dibentuk National Association of Mental Health (NAMH) yang kemudian pada tahun 1979 berubah manjadi the National Mental Health Association (NMHA) yang merupakan merger dari tiga organisasi (the National Committee for Mental Hygiene, National Mental Health Foundation, dan Psychiatric Foundation); Obat antipsikotik konvensional pertama yaitu chlorpromazine untuk penyakit skizofrenia dan gangguan mental utama lainnya; Obat antipsikotik konvensional seperti haloperidol digunakan pertama kali untuk mengontrol simtom-simtom yang positif (nyata) pada penderita psikosis; lalu Lithium kemudian ditemukan dan menjadi obat yang merevolusi treatmen bagi penderita manis depresif.
Tahun 1961 Thomas Szasz membuat tulisan yang berjudul The Myth of Mental Illness, yang mengemukakan dasar teori yang menyatakan bahwa “sakit mental” sebenarnya tidaklah betul-betul “sakit”, tetapi merupakan tindakan orang yang secara mental tertekan karena harus bereaksi terhadap lingkungan.
Lalu pada tahun 1990 NMHA memainkan peran penting dalam memunculkan Disabilities Act, yang melindungi warga Amerika yang secara mental dan fisik disable dari diskriminasi pada beberapa wilayah. Setelah itu muncullah obat antipsikotik apikal yang pertama diperkenalkan pada tahun 1994 yang merupakan obat antipsikotik baru pertama setelah hamper 20 tahun penggunaan obat-obatan konvensional.
Berdasarkan sejarah kesehatan mental diatas, dapat disimpulkan bahwa ternyata pandangan masyarakat terhadap apa yang disebut sebagai sakit mental/sakit jiwa ternyata berbeda-beda dan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Makna gangguan mental yang berbeda-beda tersebut membawa implikasi yang berbeda juga dalam menangani individu yang terkena gangguan mental.
Teori-Teori Perkembangan
Erik H. Erikson
Perkembangan berlangsung melalui tahap-tahap yang seluruhnya ada delapan tahap menurut jadwal yang dikemukakan Erikson. Empat tahap yang pertama terjadi pada masa bayi dan masa kanak-kanak, tahap kelima pada masa adolesen, dan ketiga tahap yang terakhir pada tahun-tahun dewasa dan usia tua. Tahap-tahap perkembangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kepercayaan Dasar vs Kecurigaan Dasar (Basic Trust vs Basic Mistrust) – Dari lahir hingga 12-18 bulan
Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama tahap sensorik-oral yang ditunjukkan oleh bayi. Situasi-situasi yang menyenangkan dan orang-orang yang bertanggung jawab dapat menimbulkan kenyamanan yang akrab dan dikenal oleh bayi. Melalui kontinuitas pengalaman dengan orang-orang dewasa, bayi belajar menggantungkan diri dan percaya pada mereka; tetapi mungkin yang lebih penting, ia belajar mempercayai dirinya sendiri. Perbandingan yang tepat antara kepercayaan dasar dan kecurigaan dasar mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Semua verifikasi pengharapan berasal dari dunia ibu dan anak.
2. Otonomi vs Perasaan Malu dan Keragu-raguan (Autonomy vs Shame & Doubt) – 12-18 bulan hingga 3 tahun
Pada tahap kedua kehidupan (tahap muscular-anal dalam skema psikoseksual) anak mempelajari apakah yang diharapkan dari dirinya, apakah kewajiban-kewajiban dan hak-haknya disertai apakah pembatasan-pembatasan yang dikenakan pada dirinya. Anak harus didorong untuk mengalami situasi-situasi yang menuntut otonomi dalam melakukan pilihan bebas. Penanaman rasa malu secara berlebihan hanya akan menyebabkan anak tidak memiliki rasa malu atau memaksanya mencoba melarikan diri dari hal-hal dengan berdiam diri, tidak suka berterus terang, dan serba bertindak diam-diam.
Erikson menyebut ritualisasi tahap ini sifat bijaksana (judicious), karena anak mulai menilai dirinya sendiri dan orang-orang lain serta membedakan antara benar dan salah. Dan penyimpangan ritualisme pada tahap ini adalah legalisme. Orang yang legalistik mendapatkan kepuasan melihat orang yang dinyatakan bersalah dihukum dan direndahkan, terlepas apakah hal itu merupakan tujuan hukum atau bukan.
3. Inisiatif vs Kesalahan (Initiative vs Guilt) – 3 hingga 6 tahun
Tahap psikososial ketiga, yang setara dengan tahap lokomotor-genital dalam psikoseksualitas, ialah tahap inisiatif, suatu masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab. Inisiatif bersama-sama dengan otonomi memberikan kepada anak suatu kualitas sifat mengejar, merencanakan, serta kebulatan tekad dalam menyelesaikan tugas-tugas dan meraih tujuan-tujuan. Bahaya dari tahap ini adalah perasaan bersalah yang dapat menghantui anak karena terlampau bergairah memikirkan tujuan-tujuan, termasuk fantasi-fantasi genital, menggunakan cara-cara agresif serta manipulatif untuk mencapai tujuan-tujuan ini.
Kegiatan utama anak dalam tahap ini adalah bermain. Masa bermain ini bercirikan ritualisasi dramatik. Keterasingan batin yang dapat timbul pada tahap masa kanak-kanak ini ialah suatu perasaan bersalah. Padanan negatif ritualisasi dramatic adalah ritualisme impersonasi sepanjang hidup. Seorang dewasa memainkan peranan-peranan atau melakukan tindakan-tindakan untuk menampilkan suatu gambaran yang tidak mencerminkan kepribadiannya yang sejati.
4. Kerajinan vs Inferioritas (Industry vs Inferiority) – 6 tahun hingga pubertas
Pada tahap keempat dalam proses epigenetik ini (dalam skema Freud, periode laten) anak harus belajar mengontrol imajinasinya yang sangat kaya, dan mulai menempuh pendidikan formal. Ia mengembangkan suatu sikap rajin dan mempelajari ganjaran dari ketekunan dan kerajinan. Bahaya dari tahap ini adalah anak bisa mengembangkan perasaan rendah diri apabila ia tidak berhasil (atau menjadi merasa demikian) menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru-guru dan orangtuanya. Nilai kompetensi muncul pada tahap ini.
Usia sekolah merupakan tahap ritualisasi formal, masa anak belajar bekerja secara metodis. Penyimpangan ritualismenya di masa dewasa adalah formalisme, berwujud pengulangan formalitas-formalitas yang tidak berarti dan ritual-ritual kosong.
5. Identitas vs Kekacauan Identitas (Identitiy vs Identity Confusion) – Pubertas hingga dewasa muda
Selama masa adolesen, individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti di tengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau bersifat memperbaharui.
Karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dank arena kepekaan terhadap perubahan social dan historis di lain pihak, maka selama tahap pembentukan identitas seorang remaja, mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat kekacauan peranan-peranan atau kekacauan identitas. Keadaan ini dapat menyebabkan orang merasa terisolasi, hampa, cemas, dan bimbang.
Ritualisasi pada tahap ini adalah ideologi. Dan penyimpangan ritualisasinya adalah totalisme yang merupakan preokupasi fanatic dan eksklusif dengan apa yang kelihatannya sungguh-sungguh benar atau ideal.
6. Keintiman vs Isolasi (Intimacy vs Isolation) – Dewasa muda
Dalam tahap ini, orang-orang dewasa awal (young adults) siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain. Mereka mendambakan hubungan-hubungan yang intim-akrab, dan persaudaraan, serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen ini meskipun mereka mungkin harus berkorban. Nilai cinta muncul selama tahap perkembangan keintiman.
Ritualisasi pada tahap ini adalah afiliatif, yakni berbagi bersama dalam pekerjaan, persahabatan, dan cinta. Ritualismenya yakni elitisme, terungkapkan lewat dengan pembentukan kelompok-kelompok eksklusif yang merupakan suatu bentuk narsisme komunal.
7. Generativitas vs Stagnasi (Generativity vs Stagnation) – Dewasa tengah
Ciri tahap generativitas adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi-generasi mendatang. Nilai Pemeliharaan (care) berkembang dalam tahap ini. Pemeliharaan terungkap dalam kepedulian seseorang pada orang lain, berbagi pengetahuan dan pengalaman, dll.
Ritualisasi dari tahap ini adalah sesuatu yang generasional, yakni peranan-peranan dengan mana orang dewasa bertindak sebagai penerus nilai-nilai ideal kepada kaum muda. Penyimpangan ritualisasi ini adalah autoritisme yaitu pencaplokan atau pengrongrongan kekuasaan yang bertantangan dengan pemeliharaan.
8. Intergritas vs Keputusasaan (Integrity vs Despair) – Dewasa akhir
Integritas paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah berhasil menyesuaikan diri dengan berbagai keberhasilan dan kegagalan dalam hidup. Lawan integritas adalah keputusasaan yang dapat memperburuk perasaan bahwa kehidupan ini tidak berarti. Kebijaksanaan adalah nilai yang berkembang di tahap ini.
Ritualisasi usia lanjut dapat disebut integral; ini tercermin dalam kebijaksanaan segala zaman. Sebagai ritualisme yang padanannya, Erikson mengusulkan sapientisme: “Kedunguan dengan pura-pura bijaksana”.
Sigmund Freud
Anak melewati serangkaian tahap yang secara dinamis berlainan selama lima tahun pertama kehidupan, kemudian selama suatu periode lima atau enam tahun berikutnya dinamika tersebut kurang lebih menjadi stabil. Dengan datangnya masa adolesen, dinamika itu muncul lagi kemudian secara bertahap menjadi tenang ketika remaja memasuki masa dewasa. Tahap-tahap perkembangan akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Tahap Oral (dari lahir hingga 12-18 bulan)
Sumber kenikmatan pokok yang berasal dari mulut adalah makan. Dua macam aktivitas oral yaitu menelan makanan dan mengigit, merupakan prototipe bagi banyak ciri karakter yang berkembang di kemudian hari.
2. Tahap Anal (12-18 bulan hingga 3 tahun)
Pengeluaran faeses menghilangkan sumber ketidaknyamanan dan menimbulkan perasaan lega. Ketika pembiasaan akan kebersihan (toilet training) dimulai, biasanya selama umur dua tahun anak mendapatkan pengalaman pertama yang menentukan tentang pengaturan atas suatu impuls instingtual oleh pihak luar. Ia harus belajar menunda kenikmatan yang timbul karena hilangnya tegangan-tegangan anal. Tergantung pada cara khusus pembiasaan akan kebersihan yang diterapkan ibu dan perasaan-perasaan ibu tentang defekasi, maka akibat-akibat pembiasaan ini dapat mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap pembentukan sifat-sifat dan nilai-nilai khusus.
3. Tahap Phalik (2 hingga 6 tahun)
Selama tahap perkembangan ini yang menjadi pusat dinamika adalah perasaan-perasaan seksual dan agresif berkaitan dengan mulai berfungsinya organ-organ genital. Kenikmatan masturbasi serta kehidupan fantasi anak yang menyertai aktivitas auto-erotik membuka jalan bagi timbulnya Kompleks Oedipus yaitu meliputi kateksis seksual terhadap orangtua yang berlainan jenis serta kateksis pemusnahan terhadap orangtua sejenis.
4. Tahap Laten (6 tahun hingga pubertas)
Masa kanak-kanak tengah, sebuah masa ketenangan seksual. Mereka besosialisasi, mengembangkan berbagai keterampilan, serta mempelajari diri mereka dan masyarakat.
5. Tahap Genital (pubertas hingga dewasa)
Kateksis-kateksis dari masa-masa pragenital bersifat narsistik. Hal ini berarti bahwa individu mendapatkan kepuasan dari stimulasi dan manipulasi tubuhnya sendiri sedangkan orang lain dikateksis hanya karena membantu memberikan bentuk-bentuk tambahan kenikmatan tubuh bagi anak. Daya tarik seksual, sosialisasi, kegiatan-kegiatan kelompok, perencanaan karier, dan persiapan untuk menikah dan membangun keluarga mulai muncul.
Setelah kita membahas teori perkembangan diatas, sekarang kita membahas apa arti dari kepribadian sehat?
Kepribadian sehat dilihat dari sudut pandang statistik adalah kepribadian individu umumnya, yang bila digambarkan secara statistic berada di dalam kurva normal. Sementara kepribadian yang tidak sehat adalah kepribadian yang berada di luar kurva normal tersebut.
Allport berpendapat bahwa kepribadianyang sehat tidak dibimbing oleh kekuatan-kekuatan tak sadar atau pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak. Kemudian terdapat tujuh kriteria kematangan yang merupakan pandangan-pandangan Allport tentang sifat-sifat khusus dari kepribadian sehat, antara lain:
1. Perluasan Perasaan Diri
2. Hubungan Diri yang Hangat dengan Orang Lain
3. Keamanan Emosional
4. Persepsi realistis
5. Keterampilan dan Tugas
6. Pemahaman Diri
7. Filsafat Hidup yang Mempersatukan
Daftar Pustaka:
Hall, Calvin S., & Lindzey, Gardner. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius
Papalia, Diane E., dkk. 2009. Human Development,edisi 10. Jakarta: Salemba Humanika
Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan. Yogyakarta: Kanisius
Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Kanisius
Siswanto. 2007. Kesehatan Mental; Konsep, Cakupan dan Perkembangannya. Yogyakarta: ANDI
Syarifuddin, Ahmad. 2003. Puasa Menuju Sehat Fisik dan Psikis. Jakarta: Gema Insani
wah menarik banget artikelnya rin..
BalasHapusdapet ilmu baru deh :)
makasiihh :D
Hapusnice posting :)
BalasHapuswaah semoga dengan postingan ini orang yg punya blog jadi tambah sehat mentalnya :)
BalasHapussingkat,lengkap dan mudah dimengerti
Hapuslike this
yurika: hahaha.. siaall.. amin amiinn :)
BalasHapusgrace: makasiihh :*
pembahasannya lengkap banget tapi gampang dimengerti..
BalasHapusnice^^
makasih shiella.. :)
BalasHapuspembahasan yang bagus :) Like This !
BalasHapusmakasih azizah :)
Hapuskereeennnnn abis :D
BalasHapuspembahasannya lengkap..nice!
BalasHapusmakasih theo :)
Hapusasikk ada musik nyaaa trus bahasan nya juga mantaaaap :) like this yow
BalasHapusiya doong.. biar yang bacanya ga bosen.. :p
Hapussangat bermanfaat info'a. :)
BalasHapusmakasih wulan :)
Hapusmanis amat ini blognya :)
BalasHapustulisannya juga kece deeh :)
iya doongg.. sesuai sama orangnya.. wkwkwk
Hapustulisan irina malah lebih lengkap dari punya gue, sangat bermanfaat nih tulisannya
BalasHapushahaha..masa siih?? :p
Hapusmakasiihhh :)